Rabu, 05 Mei 2010

Teka-Teki Tiga Tanda Tanya (Nur Naindy X-2)

Hari ini adalah hari terakhir mengikuti MOPD. Beberapa hari yang lalu, aku diterima di SMA ini. Tugas terakhir adlah mengumpulkan tanda tangan OSIS, biasalah para anggota OSIS ingi mempunyai nama dikalangan siswa baru seperti kami. Hmmt… modus lama.

Saat sedang mencari tanda tangan OSIS, aku dan teman-temanku ditabrak oleh seorang anak laki-laki. Bukannya meminta maaf, dia malah memarahiku dan pergi begitu saja. “Dasar !” kataku. Dalam hati ingin rasanya ku ucapkan kata-kata yang tajam dan sumpah serapah untuk laki-laki arogan dan tak tahu diri itu. Saat itu ku berdo`a agar tak pernah bertemulagi dengan orang seperti dia. Semua ini karna kesan pertamanya padaku, benar kesan pertama memiliki andil yang cukup mendominasi dasar penilaian orang terhadap kita.

Kelas baru, suasana baru. Begitu ramai diliputi ocehan, bisikan, tawa, terkadang diselingi teriakan anak perempuan. Namun, bel memecahkan keramaian tadi, seperti terhipnotis suara bel, anak-anak pun masuk tanpa ada yang memberontak. Seiring dengan suara bel yang semakin sayup terdengar, datang sosok familiar di penglihatanku. Ya, sosok yang arogan, pemarah, dan tak tahu diri. Dia, sekelas denganku !! ya Alloh….. aku beristigfar dalam hati sembari merenungi nasib malangku yang harus sekelas dengannya. Guru perdana kami sudah masuk dan sebagai awal perkenalan, guru pun mulai mengabsen. Terlontarlah kata Alfian Reinaldy dari mulut sang guru. Oh itu namanya, nama sebagus itu untuk orang yang sangat menjengkelkan, uhh…. sangat tidak cocok.

“Anindya…. Anindya Auditha…. Anindy Auditha !!”sentakan bu guru membuyarkan lamunanku. Aku mengangkat tangan, menandakan bahwa aku hadir. Alfian melihatku dengan pandangan tajam, sepertinya rasa dendam dan kebencian yang kemarin tersirat dari pandangan tajamnya yang menusuk mataku.

Hari demi hari, minggu terus berganti, bulan kian bergilir, ku sudah tak tahan dengan polah Alfian yang semakin menjadi-jadi. Sampai di hari itu, Alfian membuat magma yang ada dikepala ku menyembur keluar. Alfian meremehkan aku karna aku seorang perempuan dan umurku yang masih kecil. Usiaku genap 15 tahun, tapi setelah menunggu dua bulan lagi. Dia pikir kalau aku seorang perempuan dan usiaku masih muda tidak akan pernah becus melakukan berbagai hal. Urrgh!! Muncratan-muncratan magma yang tak terbendung pun keluar dari mulutku. Ingin rasanya kutinju mukanya sampai hidung mancungnya bengkok ke dalam. Sejak saat itu, kami jadi bemusuhan dan bibit kebencianku pada Alfian terus tumbuh dengan subur dalam kalbuku. Setiap kebaikan Alfian pun belum bisa melelehkan bara kebencianku padanya.

*…………………………………*…………………………………*

Hari ini, tepatnya 20 April 2010, seluruh kelas X akan widya wisata. Saat-saat di perjalanan memang saat di mana semua murid masih bersemangat. Dan, tujuan widya wisata tahun angkatan kami adalah Istana Bogor, Kebun Raya Bogor, Museum Zoologi, dan TMII. Walaupun ada beban mangerjakan LKS, tapi kami tetap menikmati pembelajaran di luar sekolah ini.

Setelah Istana Bogor, Kebun Raya Bogor dan museum Zoology, kami pun tiba di tempat tujuan yang terakhir, TMII. Tugas di TMII adalah mencatat hal-hal dari tiga anjungan. Awalnya kelas kami sepakat untuk tidak berpencar, tapi setelah selesaikan tugas kami menjadi berpencar. Aku, Via, Nanda, Tasha, Tiwi, Abil, Andin, Tari, Anna dan Lina dalah rombongan penjelajah souvenir. Tapi di tengah perjalanan kami tersesat, karena tidak tahu jalan pulang kami pun kembali ke parkiran menaiki ojek tanpa membawa buah tangan.

Bruk !! seseorang menabrak dan menghantamku hingga aku terjatuh, teriakan teman-temanku menyadarkanku. Karena jarakku dengan orang itu berdekatan, ku kejar pencuri itu meski aku masih pusing dan yang lainnya mengikuti di belakang. Tapi karena terlalu jauh, mereka kehilangan jejak. Huh ! laki-laki berjaket kulit dan menggunakan helm itu larinya cepat sekali, lama-lama rasa lelah pun mulai membebaniku. “Polisi,” kata laki-laki berbaju santai. Alhamdulillah, akhirnya semua berakhir disini, tapi pikiran itu harus kubuang jauh-jauh. Pencuri itu malah tersenyum semeringai seperti menantikan kedatangan kami. Kemudian pencuri itu lari menaiki tangga dan mentok di atas sebuah gedung. “Sudahlah menyerah saja sudah tak ada tempat untuk berlari lagi, ” gertak sang polisi. Kami kaget saat pencuri itu menodongkan pistolnya. Aku tahu polisi itu tak mungkin membawa pistol karena sedang liburan, tapi disisi lain aku belum siap untuk mati sekarang, mengenaskan pula. Sejenak ku merenungi hidupku dan ku pasrahkan diriku pada Yang Maha Kuasa. Kami tersentak karena pencuri itu malah terjun kebawah. Aku dan polisi berteriak “Jangan !” tapi sudah terlambat. Saat kami melihat ke bawah, tak terlihat mayat, jangankan mayat ceceran darah pun tak ada. “Kenapa bisa gitu ya, Pak ???” tanyaku. Polisi itu hanya menggelengkan kepalanya.

*…………………………………*…………………………………*

“Ndy, gimana ?” Tanya temanku. “Gatot.” Jawabku singkat, “Mana Bu Leni ? saya mau tanya kronologisnya seperti apa,” jelas pak polisi. Memang yang tahu hanya kami bersepuluh plus Bu Leni selaku saksi mata. Jadi maklum kalau yang lain masih pada terbengong–bengong. Saat sedang ribut-ribut datang supir dan kenek bis “Ada apa ini rame-rame ?” Tanya supir bis. Setelah aku menjelaskan semua yang terjadi, supir dan kenek bis meminta maaf, “Kami minta maaf atas kejadian ini, karena kami pergi kalian jadi merasa tidak nyaman. Dan anda, cepat panggil teman-temanmu lalu selesaikan masalah ini,” jelasnya pada laki-laki itu. Saat semuanya sudah bubar, kubertanya satu hal pada kenek bis “Pak, Bapak sudah kenal ya sama laki-laki tadi ???”. “Ya belumlah Neng… ketemu aja baru sekarang, kenal dari mana !” ucap kenek bis itu.

Selepas kejadian tadi kami saling berbincang-bincang menanyakan siapa pelakunya. Saat sedang mengobrol, tak sengaja ku lihat garis tipis yang selintas tak terlihat di bawah dagu, menjulur dari telinga kanan hingga telinga kiri pak supir. “Pak itu kenapa kok ada garis di sekitar telinga dan bawah dagu ???” Tanya ku. “Oh… ini, ini mah bekas jahitan ,” kata supir bis. Setelah berkumpul semua kami bergegas pulang.

Perjalanan pulang tetap rame, walaupun baru tertimpa musibah kami tetap bersemangat. Di perjalanan ku memikirkan tiga hal yang menurutku aneh. Apakah ketiga hal itu berhubungan ??? sekian detik ku bertanya-tanya, sekian menit berpikir, tapi tak sampai satu jam ku menemukan jawabannya. Memang semua itu berhubungan, dan pencurinya akan datang lagi untuk meneruskan aksinya yang terpotong dan tak membuahkan hasil di bis ini.

Kami berhenti di pusat pembelian oleh-oleh untuk sholat maghrib. Aku tak langsung menuju masjid, tapi aku menunggu seseorang muncul. Pencuri itu sudah keluar dan tanpa dia sadari, dirinya sendiri yang mengantarku pada suatu titik terang. Sehabis sholat maghrib kami melanjutkan perjalanan, awalnya semua pada maceuh, tapi malam kian larut dan anak-anak pun terbuai kealam mimpi.

“Ndy, kamu pindah dulu lah sama Alfian aku ada urusan sama Sifa,” kata Iman. Wew! Jelas aku menolak tapi Iman terus membujuk, membujuk, dan membujuk terpaksa aku harus mengalah lagi pula Alfian pun tak keberatan. “Urrgh… bakal jadi perjalanan pulang yang menjengkelkan, tapi aku harus melanjutkan rencanaku, ” pikirku. “Belum tidur?” Tanya Alfian ramah. Hah, Alfian menyapaku apa ini cuma sekedar basa basi busuk, atau memang dari hatinya, atau malah ada maksud jahat. “Mana bisa tidur kalau selimutnya rasa penasaran,” jawabku.

Akhirnya semua orang terlena pada mimpinya, yang menghasilkan suasana hening. Ku rasakan bis berjalan semakin melambat. “Alfian… Alfian…. dah tidur ?” tanyaku. “Emmt… belom, kenapa ?” Alfian malah balik nanya. “Gini yah ! bangun dulu dong ! Bangun ! kalau udah coba rasakan kalau bis ini jalannya semakin melambat,” kataku member kata pengantar sambil berbisik. “Iya. Lama-lama jadi pelan,”kata Alfian. “Ian, aku butuh bantuan kamu, sebelum bis ini berhenti kamu harus ada di pintu belakang. Di bawah bangku paling belakang ada kayu, kalau aku kasih tanda kamu pukul pencurinya yah. Ada pertanyaan ?” jelas ku. “pencurinya siapa ? dan kamu ngapain ?” Tanya Alfian. “pencurinya dua orang yang ada didepan, trus aku ngurus pemeran utamanya. Ok”. Alfian mengangguk tanda mengerti, setelah ku beri tanda kami mulai bergegas ke posisi masing-masing. Saat aku di bangku Nanda, bis berhenti dan pencuri pun siap melancarkan aksinya. Agar tidak curiga, ku pinjam kacamata Nanda dan pura-pura tidur di pangkuannya.

Setelah pelaku utama lewat aku menuju pintu masuk untuk mengankan pelaku yang lainnya. “Sssttt…!” “Di ditu aman, Dang ?” Tanya pencuri utama. “Kecoa,” bisikku. “Henteu, ieu ngan kecoa gede ngarewaskeun” katanya. Ngamanin pelaku ini sih gampang, cuma ditodong pake pisau lipat aja udah sport jantung, hmmt…. payah. Setelah itu ku ikat tangannya dengan tambang yang ku bawa dari tempat pembelian oleh-oleh dan mulutnya ku sumpal menggunakan sapu tangan yang ku simpan di saku jaketku. Satu pelaku sudah beres.

Ternyata rencanaku tak semulus yang ku bayangkan. Si pelaku utama merasa curiga dan kembali ketempat duduknya. Di lain sisi, ku merasa tidak kuat lagi memakai kacamata,rasa pusing sekali. “Kamu !”. “Kenapa kaget ya Pak. Sssttt… jangan berisik nanti yang lain tau kalau anda dan anda ini adalah komplotan pencuri,” kataku sembari berbisik. Tanpa ku duga pencuri itu membawa Tiwi sebagai sanderaanya. Tiwi yang jago karate kaget dan hendak menendangnya, tapi aku larang karena akan membahayakan dirinya juga. Sambil ku todongkan pisau lipatku, pencuri itu pun menodongkan pisau lipatnya ke Tiwi. Maka dari itu, ku beri tanda untuk menggigit tangan yang sedang memegang pisau. Dan berhasil! pisaunya terjatuh dan Tiwi mengeluarkan jurus karatenya. Tapi, pencuri itu belum jera. “Ehemt… Ehemmt.. Ehemt Ehemt… Ahalfian !” aku memberi tanda pada Alfian, ku menunggu Alfian datang, ku pikir Alfian tak jadi membantuku, tapi ia keluar dan memukul pencuri itu hingga terkapar ke lantai. Hal ini membuat bangun Ibu Wali Kelas. Pencuri itu aku ikat di stir pengemudi untuk membawa kita pulang.

*…………………………………*…………………………………*

“Ini Pak, dua orang pencuri yang nyuri di bis kami saat widya wisata. Oh iya, ini bukan pelaku sebenarnya, tapi ini lah muka asli pencuri kita.” Kataku sambil membuka topeng plastic yang di gunakan pelaku agar mirip dengan supir bis kami. “Supir aslinya ada di bagasi ya Pak,” kataku menambah. “Terima kasih atas bantuan Ade, nama Ade siapa ?” tanya polisi itu. “Nama ya Pak ? Emmtt … Adith.” Jawabku. Ya, aku menyamar lagi, kugunakan kacamata Nanda dan kututupi rambut pendekku dengan topi.

Esoknya kami bersikap biasa, sampai enam hari setelah pencurian itu sekolah kami kedatangan tamu. Yupz, Upacara bendera kali ini pembinanya dari kepolisian. “Saya bangga dengan sekolah ini, karena mempunyai tiga orang jagoan. Mereka akan kami beri medali penghargaan karena keberanian dan kecerdikan mereka. Inilah photo mereka, bagi yang merasa orang yang ada di photo ini dan namanya di panggil silahkan menuju mimbar. Inilah mereka para jagoan X-2 Maulida Pratiwi, Alfian Reinaldy, dan Adith” Kata Pembina upacara. “Wahh… cakep. Melebihi kecakepannya Alfian,” kata Dian, Sifa, dan Abil. “Tapi Adith hanya ilusi, silahkan maju Anindya Auditha.” Jelas polisi itu. Setelah kami maju kedepan kami sedikit di wawancarai. “Kenapa kalian tahu pencurinya kenek bis dan rekannya yang menyamar jadi supir bis kalian?” Tanya polisi yang menjadi Pembina itu. “Kami hanya menuruti perintah Anindya saja,” jata Alfian dan Tiwi. “Emmt… Saya hanya memikirkan tiga hal yang saya anggap aneh lalu saya sambungkan ketiga hal itu, dan semuanya cocok. Ketiga hal aneh itu pertama, saat pencuri itu menodongkan pistol ke saya dan ke polisi di atas gedung, dia tidak memutar arah dan turun kembali melalui tangga, tapi dia malah meloncat padahal dia tahu bahwa polisi itu tidak membawa senjata. Dan mengapa saat kami lihat kebawah tidak ada mayatnya ataupun darah tercecer. Itu bertujuan untuk mengalihkan perhatian kami, sedangkan supir gadungan membereskan masalahnya dengan supir bis yang asli. Kedua, saat sedang pada heboh, kenek dan supir bis gadungan datang dan kenek bis itu bilang “cepat panggil teman-temanmu lalu selesaikan masalah ini” padahal setelah saya tanya mereka tidak mengenal polisi itu, tapi kenek bis itu seperti sudah mengetahui kalau itu seorang polisi. Ketiga, garis tipis yang melintang dibawah dagu menyusuri telinga. Tidak mungkin bekas jahitan setipis itu, dan ternyata dugaan saya benar itu merupakan sebuah topeng berbahan plastik yang sama dengan wajah supir bis yang asli. Keempat, disinilah saya yakin kalau supir itu dalah supir gadungan, karena saya mengikuti supir gadungan ke bagian bagasi dan memberikan makanan untuk supir yang asli. Dari situ saya yakin supir gadungan dan kenek itu tidak akan membuat yang macam-macam kepada supir asli karena mereka bersaudara.” Aku member penjelasan. “kenapa bapak tahu saya Anindya ?” tanyaku.

Ternyata Ibu Wali Kelaslah yang memberitahukan polisi identitas aku, Alfian dan Tiwi, beliau mengikutiku saat aku ke kantor polisi. Hahai ..! senangnya bisa mengungkap suatu kejahatan dengan mengandalkan daya analisisku, sebentar lagi aku akan menjadi penerus Conan, amin. “Hai Adith…” ledek Alfian. “Hai anak tua, setelah adnya kasus ini kamu masih nganggap aku anak kecil,”tanyaku jail. Alfian hanya tersenyum setelah mendengar pertanyaan konyol yang aku lontarkan. “Ehemt… kayaknya gak ada lagi perang dingin, toh musuh bubuyutannya juga udah baikan.” Ledek teman-temanku. “Biasa aja ah !” kataku dan Alfian berbarengan. “Eh, Dian, Sifa ma Abil, gimana masih nganggep aku cakep ?” ledek diriku. Alfian maaf aku udah salah nilai kamu, aku yakin di balik kelamnya sikap kamu masih ada setitik spectrum cahaya di hati kamu.

1 komentar:

HappyBoyz_Royz mengatakan...

bagus...bagus...
cerita yang menarik...
tapi ada beberapa hal yang masih kuranng...
alur terlalu meloncat...jadi asa bingung...

tapi secara keseluruhan sudah cukup baik...
tingkatkan!

Posting Komentar