Minggu, 02 Mei 2010

Ni, Adakah Namaku di Hatimu? (Lindawati Sumpena X-2)

“Ni, Dinda Bantu angkat jemurannya ya!,” tawar seorang gadis berpakaian putih abu dengan ramah.
“Nggak usah!”Wanita tua itu membantah singkat dengan sedikit menggertak. Dari raut wajahnya, wanita itu nampak tersinggung. Lalu, dengan sikap tak acuh, dia melangkah tertatih-tatih mengambil tiap helai pakaian yang tergantung di atas tali jemuran.
Dinda lagi – lagi tak dapat melawan titah nininya. Akhirnya, dia hanya dapat kembali ke kamar, menghempaskan tubuh kurusnya ke atas tumpukan kapuk keras, yang telah menjadi sandaran tubuhnya sehari-hari. Sedangkan tasnya, dia banting dengan arah tak menentu. Kepenatan dan gejolak pikiran tengah mengepungnya bersamaan. Disinilah dia kerap kali merenungi nasib buruk yang selalu urung mencampakannya. Sejak kematian kedua orang tuanya, semangat hidupnya serupa mati suri. Kemiskinan yang telah menyambangi urat nadinya, makin menohok dalam karena sikap nininya sendiri, yang seolah tak menganggap dirinya ada.
Dinda mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Dari layar kecil itu, terhampar hijau perkebunan teh dengan para pemetik di sela-selanya. Semilir angin sore mengusik pori-porinya, gua-gua kecil itu menciut malu. Setelah itu berbisik di telinganya, mendongeng sebuah kisah pahit yang menjadi awal nestapa hatinya.

ффф

Siang itu, matahari bersinar begitu terik, tak seperti biasanya. Pangalengan berkeringat kepanasan. Sementara itu, awan-awan bersuka ria menikmati indahnya pesona kondensasi. Satu per satu mereka menumpangi satu sama lain, hingga terbentuklah kesatuan yang terbesar. Di sebuah saung kecil, Dinda, abah, dan ambu duduk melepas letih yang yang bersarang di punggung mereka.Gadis berusia 12 tahun itu mendekap ambunya lekat-lekat, seolah tak mau terpisah. Abah melempar senyum ledekan pada sang puteri.
“Din, malu ih udah gede!, masih aja manja-manjaan sama ambu!,”ledek abahnya.
“Biarin, ambu aja gak ngambek.”Dinda menimpalinya dengan sewot.
Dinda tak mau peduli akan sindiran dari abahnya ataupun siapapun juga. Dia bersandar lebih manja, mencumbui aroma khas ambunya itu. Ambu tersenyum, memandangi puteri kecilnya yang kini beranjak remaja.
Lama-kelamaan, langit menunjukan kelabunya. Melepaskan berjuta-juta bulir air hujan yang sempat tertawan. Pikiran ambu terganggu oleh sesuatu, terlintas di benaknya alat-alat kebun dan sekarung pupuk yang tertinggal di ujung petak.
“Masya Allah, bah. Itu, alat-alat kebun masih di bawah. Hayu kita bawa, kemarin aja punya ceu Uti ada yang maling!”Ambu mendadak was-was.
“Iya, hayu atuh kita bawa!,”ucap abah mengiyakan.
Langkah-langkah kaki mereka yang hendak tertancap keluar, terhalang oleh rajukan Dinda yang meminta ingin turut. Abah terdiam, sedang ambu dengan tegasnya menolak permintaan Dinda.
“Neng, tunggu aja disini.Liat tuh ujan gede, kalau neng ikut nanti sakit, kan besok harus sekolah”Ambu mencoba memberi pengertian pada Dinda. Naluri keibuannya terasa amat kuat, entah mengapa seperti ada firasat buruk yang tersirat dalam hatinya.
“Ih, ambu!. Alatnya kan banyak, kalau Dinda ikut bantu kan abah sama ambu gak terlalu capek. Dinda gak akan kenapa-kenapa kok!,”ucap Dinda mantap.
“Udah, pokoknya neng tunggu disini!”Kini, abah ikut-ikutan melarang.
“Tapi…..”Belum selesai seruan perlawanannya, abah dan ambu telah berlalu dari hadapannya. Dinda hanya bisa merengut, tak mungkin dia membangkang perintah orang tuanya.
Setelah beberapa saat menunggu, tiba-tiba sebuah gemuruh tertangkap oleh sepasang daun telinganya. Disusul jeritan-jeritan yang kian lama kian terdengar samar. Entah mengapa, Dinda merasa begitu familiar dengan suara-suara jeritan itu. Debar jantungnya menjadi tak terkendali, belum lagi abah dan ambunya yang tak jua kembali. Dengan nekat, Dinda menerobos hujan yang membombardir habis sekujur tubuhnya. Dia berlari kencang, mencari kepastian.
Tiba-tiba Dinda mematung. Tangisnya pecah kala itu juga. Sebuah lubang besar menganga tak jauh darinya. Badannya terkulai lemas dan ambruk ke tanah.

ффф

Dinda memegangi dua sisi kepalanya yang terasa amat pening. Matanya memicing, berusaha memperjelas pandangannya yang masih kabur. Tempatnya kini berada terasa begitu asing. kerumunan orang turut menghalangi indera penglihatannya untuk melihat ruangan itu lebih jelas.
“Alhamdulillah, sadar juga akhirnya!”Seseorang tersenyum lega. Pemilik suara itu tak lain adalah bi Sumi, tetangga Dinda.
“Neng Dinda gak apa-apa kan?,”tanya bi Sumi kemudian. Dinda hanya mengangguk lemah.
Seorang wanita tua berjalan tertatih-tatih ke arahnya. Dinda sama sekali tak mengenal siapa dia, tetapi raut wajahnya begitu mirip dengan abah.
“Ini ninimu, neng. Ibunya abah”Bi Sumi memperkenalkannya pada Dinda.
“Nini?,”tanya Dinda bingung. Bi Sumi mengangguk membenarkan.
Walaupun luka dihatinya belum pulih benar, namun Dinda merasa senang karena akhirnya berjumpa dengan sosok nininya. Orang yang selama ini bagai teka-teki dalam hidupnya.
Dahulu, yang dia tahu, dia hanya memiliki satu nini dan aki dari pihak ambunya. Baik abah, ambu, ataupun aki nini dari ambunya tak pernah secara gamblang menceritakan sedikit saja gambaran kedua orang tua abah. Jika ditanya, abah hanya diam seribu bahasa. Sementara ambu, hanya memberi jawaban yang tak pernah bisa memuaskan dahaga keingintahuannya.
Dinda tak menyangka bahwa nini kandungnya tengah berdiri di hadapannya.Riak-riak rasa haru mencuat ke permukaan. Sudah barang tentu, nininya akan mengasihinya layaknya abah dan ambu. Akan tetapi, angan-angan itu hanya sekedar fatamorgana belaka. Nyatanya, orang yang dicap sebagai nininya itu tak pernah sekalipun ingin menunjukkan bahwa Dindalah cucunya, dan dialah nini Dinda.
Dinda dianggapnya tak lebih dari patung usang yang tak berharga. Nini seolah hidup sendiri dalam kesuraman jiwanya, tanpa pernah memberi Dinda kesempatan untuk sedikit saja meneranginya. Ditengah rongrongan diabetes yang telah mengerubungi syaraf-syaraf kakinya, nini tetap memaksa untuk tegak. Menolak segala macam hal yang bisa meruntuhkan benteng keangkuhannya. Perhatian justru datang dari orang-orang di sekitar mereka. Mau dikata apa?. Mereka hanyalah orang-orang melarat, yang tak punya lagi sanak saudara. Aki kabarnya telah lama meninggal, saudara-saudara Dinda dari pihak ambu tak tahu berada di mana. Mereka hanya bisa menjalani hidup dengan menadahkan telapak tangan. Syukurlah, perkebunan berbaik hati membiayai sekolah Dinda hingga jenjang SMA
ффф

Dinda melangkah dengan lesu, dua kantung hitam menggelayut di bawah matanya. Kenangan buruk yang menghantuinya, membuat dia terpaksa terjaga sepanjang malam. Dari belakang, seseorang tiba-tiba menepuk pundak kirinya. Dinda terlonjak kaget, dia pun berbalik ke belakang.
“Hai, Din. Aku punya berita bagus buat kamu!,”kata orang itu antusias.
“Emang ada apa?.”
Tanpa berdiam lama, Mira menarik lengan Dinda menuju ke depan Mading sekolah.
“Lomba menulis cerpen nasional?. Maksudnya?”Dinda mengernyitkan dahi.
“Aku rasa, tulisan kamu teh bagus-bagus. Siapa tahu aja, mau coba”Mira memberi saran pada sahabatnya itu.
“Maaf banget, tapi aku gak berminat!”Dinda kemudian berlalu tanpa menggubris teriakan Mira. Mira mencoba untuk terus membujuk Dinda. Dalam hatinya, dia bertekad untuk mengembalikan semangat hidup yang dulu begitu lekat dengan pribadi Dinda.
“Din, ini teh kesempatan buat kamu, buat buktiin kalau kamu bisa banggain nini!. Ya, siapa tahu aja, lomba ini bisa memperbaiki hubungan kalian!”Mira berteriak sekencang mungkin.
Bak petir, kata-kata itu langsung menyambar dan berbekas di hatinya. Dinda tertegun. Mira mengambil langkah seribu, menghampiri Dinda. Dia tatap mata Dinda dengan penuh kepercayaan.
“Aku tahu kamu masih ragu!. Toh, aku cuma ngasih saran biar kamu bisa mempertimbangkannya. Bukan tak mungkin, anugerah datang melalui cara yang tak disangka!”
Bagai seorang ahli hipnotis ulung, kata-kata Mira sanggup menggetarkan dada Dinda. Di pelupuk matanya, tercitra sebuah oase indah di tengah-tengah gurun kebuntuan hidup. Disana, dia lihat abah, ambu, dan nini tersenyum melihatnya.
“Kamu benar, Mir. Tidak ada kata salah untuk mencoba.”
Mira memeluk Dinda dengan erat. Dia berharap, tawa riangnya akan kembali menghiasi hari-harinya. Walaupun sekejam apapun dunia memalingkan muka.

ффф

Tiga minggu telah berlalu, sejak karyanya dia kirimkan ke panitia lomba. Dinda menunggu penuh harap. Tak henti-hentinya dia memanjatkan do’a kepada Tuhan, semua ini hanya untuk nininya, bukan yang lain.
Bunyi bel membuyarkan lamunannya. Dinda bergegas membukakan pintu, seorang kurir berdiri di samping sepeda motornya.
“Maaf, benar ini rumahnya Dinda Aurora?”Kurir itu bertanya dengan sopan.
“Iya, saya sendiri.”
“Ini, ada surat dari Balai Sastra Indonesia.”
Perasaan Dinda mendadak tegang. Seusai membubuhkan tanda tangan, Dinda berlari sekencang cheetah dengan membawa bungkusan putih di tangannya. Jantungnya memompa darah dengan cepat, secepat dia robek amplop yang menyelimuti surat. Perlahan, dia buka lipatan surat dan membacanya.
Jiwanya bagai terpisah dari raga, mimpi-mimpi yang beberapa hari ini dia bingkai menunjukan potret kenyataan. Namanya secara jelas terpampang dengan predikat juara II.
Dinda sibuk mencari-cari nini, dia tak sabar menyaksikan senyum haru berkembang dari bibir nini untuk pertama kalinya. Setelah seluruh ruangan di bilik sempit itu terjamah, akhirnya dia menemukan nini tengah duduk di halaman belakang.
“Ni, Dinda mau bilang sesuatu sama nini!”
Wajahnya tertuju lurus ke depan. Tak sedikitpun wanita tua itu tertarik untuk menggubris Dinda. Dinda tak berputus asa, dia menunjukan surat kebanggannya itu dihadapan wajah nini.
“Ni, Dinda menang lomba menulis cerpen nasional, jadi juara II !. Cerpen Dinda akan segera difilmkan!,”paparnya penuh semangat.
Tak ada respon yang muncul dari gerak-gerik nini. Seperti semula, dia hanya duduk dengan sikap yang dingin.Semburat kekecewaan menudungi perasaan Dinda.
“Ni..., Dinda…”Belum selesai Dinda bicara, nini bangkit dan beranjak pergi.
“Itu bukan urusanku!”Nini berkata dengan entengnya.
Suatu kalimat yang berhasil mencabik-cabik ulu hatinya. Kontan saja amarah menguasai Dinda. Seluruh uratnya tegang, matanya menyoroti nini penuh kebencian. Bom nuklir yang selama ini dengan rapatnya dia timbun, meledak dengan dahsyat.
“Nini, kenapa nini gak pernah peduli sama aku?. Kenapa nini gak pernah anggap aku itu ada!,”ucap Dinda emosional.
“Nini gak tahu kalau selama ini hati Dinda itu sakit karena sikap nini. Aku udah berusaha buat jadi cucu yang berbakti, tapi nini gak pernah mau hargai aku!”
Nini termangu, dia tetap bersikap tak acuh.
“Nini emang gak pernah butuh Dinda!. Bagi nenek, Dinda cuma pengganggu!. Kalau itu mau nini, Dinda akan turuti. Toh, Dinda sadar, selama ini nini cuma jadi pil pahit yang terpaksa harus terus ku telan. Nini udah merampas kebahagiaanku, dan sekarang aku tak sudi memanggilmu nini!”
Dinda bergegas membereskan barang-barangnya, tekadnya sudah bulat untuk meninggalkan gubuk derita ini. Sesaat sebelum pergi, Dinda masih melihat nini tenggelam dalam kesombongannya.

ффф

Jakarta Convention Center, 22 April 2010
Gedung itu serupa kabut bima sakti dengan benda-benda langit yang sebagian besar memusat pada intinya. Hanya beberapa yang terletak di lengan cakramnya, selebihnya nampak begitu tertarik akan satu titik tengah.
Hari itu, seorang perempuan muda duduk santai diantara sekian banyak lontaran pertanyaan dan jepretan kamera yang menyorotnya dari berbagai sudut.
“Selamat ya mbak Dinda, kami salut lho anak muda seperti mbak sudah punya prestasi yang gemilang”Seorang wartawan surat kabar C memuji dengan sorot mata yang berbinar-binar.
“Iya, terima kasih!,”jawab Dinda ramah.
“Selamat atas penghargaan dari World Literature Unionnya mbak!. Oya, kami dengar saat usia 15 tahun, mbak berhasil memenangkan lomba cerpen dan cerpen itu difilmkan. Benar begitu mbak?”Kali ini sang penanya adalah wartawan dari stasiun TV R.
“Ya, itu memang benar. Cerpen saya yang berjudul Menepilah Oh Kabut difilmkan tahun 2000.”
Para pemburu berita sibuk mencatat kata-kata Dinda yang dianggap mereka penting. Kamera makin gencar menangkapnya dalam potret, silih bergantian, bagaikan kerlip meteor saat hendak masuk ke atmosfir bumi.
“Mbak, dari novel-novel mbak yang saya baca, saya rasa gaya penulisan mbak mirip dengan seseorang.”Seorang penggemar Dinda tiba-tiba mencuri perhatian. Begitupula Dinda, dia menatap laki-laki yang ditaksir telah berkepala 5 itu penuh tanda tanya.
“Oya, memang siapa?”
“Ajeng Widjaya. Penulis yang sempat ngetop tahun empat puluhan.”
Dinda makin tertarik akan penuturan bapak itu. Ajeng Widjaya?. Sepertinya dia tak pernah mendengar nama sastrawati itu.
“Memang tak banyak orang yang tahu dia, apalagi dengan hidupnya yang kelam. Setelah membuang anak kandungnya, Ajeng menghilang tanpa jejak.”
Banyak orang mencibir pria itu. Ada yang berkata dia hanya mengada-ngada dan ingin eksis di media, adapula yang menyangka dia hanya lelaki tua yang sedikit miring otaknya.
“Tunggu, saya punya fotonya.”
Sekonyong-konyong pria itu mengeluarkan sebuah potret dari dalam sakunya. Dengan penuh keyakinan, dia menghampiri Dinda dan memperlihatkannya.
Dinda kaget bukan kepalang, foto wanita itu juga pernah dia temukan di gubuknya dulu. Rasa sesak tiba-tiba menyergapnya. Otak hippotalamus memerintahkan bulir-bulir bening terpecah dari bola matanya.
Wanita itu adalah nini, orang yang kini dia anggap tak lebih dari manusia jalang. Hatinya tercekat, ditusuki tombak kepedihan. Kemampuan yang selama ini dia syukuri, kini terasa bagai malapetaka.
“Bahkan wanita itu diam-diam begitu kejinya menelusupkan penderitaan hingga ke otak dan intuisiku.”
Dinda menyadari, bakat yang mengalir di darahnya, diwariskan oleh nini. Entah dia harus bersyukur atau malah bersikap kufur.

by : Linda

1 komentar:

HappyBoyz_Royz mengatakan...

cerpen yang bagus...
penuh dengan kosakata...
diksi yang kaya...
tema yang sangat bagus...
kamu layak menjadi penyair...

namun masih ada hal-hal yang harus diperhatikan...misalnya setting dan latar yang bisa lebih dibatasi lagi. jangan terlalu luas!

tingkatkan lagi kemampuan menulismu!

Posting Komentar